Selasa, 24 Maret 2009

Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini Terabaikan

Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini Terabaikan
Jakarta (Suara Pembaruan: 11/10/04) Prinsip prinsip kurikulum untuk pendidikan anak usia dini hendaknya digali dari anak dan dunia anak itu sendiri. Oleh karena itu, sebelum merumuskan kurikulum untuk anak, hendaknya dipahami dahulu. siapa. mereka, dan bagaimana karakteristik mereka. Para perumus kurikulum pendidikan anak usia dini hendaknya memahami bahwa dunia anak adalah dunia bermain, setiap anak berhak mencoba dan melakukan kesalahan. Harus diakui kurikulum pendidikan anak usia dini masih terabaikan.Berbagai hasil studi menunjukkan, jika pada masa usia dini terutama masa emas (4 tahun kebawah) seorang anak mendapat stimuIasi maksimal, maka potensi anak akan tumbuh dan berkembang secara optimal. Demikian diungkapkan Mendiknas Malik Fadjar, dalam "Semiloka Nasional Pendidikan Anak Usia Dini" di Universitas Negeri Jakarta, pekan lalu.Malik Fadjar mengatakan, dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan anak sudah mendapatkan perhatian yang besar. Dalam UU ini ditegaskan, setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai minat dan bakatnya. Terlebih, dunia internasional juga sudah menyepakati perlunya memberikan perhatian terhadap masalah pendidikan anak usia dini. Dalam penjelasannya Malik juga menegaskan penyusunan kurikulum pendidikan anak usia dini yang harus memperhatikan setiap kebutuhan anak. "Sebab, setiap tingkat usia anak membawa implikasi tugas dan perkembangan tertentu bagi setiap anak. Oleh karena itu kurikulum pendidikan anak usia dini hendaknya merupakan kurikulum yang berpihak kepada anak. Dalam arti, memperlakukan anak sesuai dengan tingkat usia dan perkembangan mentalnya," ujarnya.Malik menambahkan, aspek kecerdasan anak juga harus menjadi pertimbangan dalam penyusunan kurikulum pendidikan anak. "Selain itu, kebutuhan spesifik setiap anak, kaitan dengan kondisi alam dan pola hidup, serta budaya masyarakat tempat mereka tinggal, hidup, dan dibesarkan juga harus diperhatikan," tegasnya.Kecerdasan BerbedaSementara itu, pakar pendidikan, Setio Wibowo bahwa setiap anak memiliki bakat dan kecerdasan yang berbeda beda mulai dari seni, olahraga, musik hingga kecerdasan intelektual. Namun sayang, orang tuamaupun sekolah sering salahdalam menilai bakat anakdengan mengagungkan ilmupengetahuan alam (IPA) se¬perti matematika, fisika, bi¬ologi maupun kimia sebagaiyang terbaik.Berbagai upaya,dilakukan orangtua dan seko¬lah agar nilai nilai dalam IPAlebih tinggi dibandingkandengan mata. pelajaran lain.Padahal, upaya semacam itujustru menyia nyiakan bakatanak di bidang lain. "Banyak orang tua yang mengganggap anak yang jago matematika, fisika, atau mata pelajaran IPA lainnya sebagai anak yang pandai. Kasihan sekali anak yang berbakat luar biasa pada musik atau tari, tetapi nilai matematikanya jeblok. Mereka bukannya tidak pandai, tetapi memiliki bakat di luar mata pelajaran IPA. Akibat kecenderungan itu, anak berbakat di luar bidang IPA tidak terakomodasi dengan baik dalam sistem pendidikan yang ada," katanya. Dikatakan, mata pelajaran ekstra kurikuler yang seharusnya bisa menjadi solusi dalam masalah ini justru ditangani dengan seadanya. Hal itu terlibat pada mata pelajaran ekstra kurikuler yang terlalu sederhana dan berkesan seadanya. "Masa mata pelajaran ekstra kurikuler di sekolah cuma ada memasak atau elektronik atau merangkai kembang. Anak cuma diberi pilihan pilihan yang tidak sesuai dengan keinginan maupun bakat yang terpendam, sehingga mata pelajaran ekstra kurikuler yang seharusnya bisa memberi "makan" pada bakat anak menjadi sia sia dan mubazir," paparnya.Seharusnya, ujarnya, saat mata pelajaran ekstra kurikuler anak diajak bicara apa saja yang dibutuhkan untuk mengembangkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar