Senin, 18 Mei 2009

Ikut Bimbingan Belajar, Perlu Tidak?

Ikut Bimbingan Belajar, Perlu Tidak?


KETIKA hasil ulangan harian dilaporkan kepada orang tua siswa dalam bentuk laporan tengah semester, maka terdapat beragam hasil dengan bermacam reaksi. Ada yang cukup puas karena menggambarkan pencapaian belajar siswa selama ini sehingga nilai mata pelajaran (MP)nya tuntas (¡Ý KKM, sama dengan/lebih dari nilai Kriteria Ketuntasan Minimal). Ada yang tidak puas karena nilainya di bawah KKM. Ada pula yang tidak puas, meskipun nilainya tuntas tetapi tidak sesuai dengan target pribadinya, yang menghendaki nilai MP tertentu lebih besar dari KKM.

Orang tua dan siswa dari dua kelompok terakhir ini tentu saja akan berusaha habis-habisan supaya keinginannya tercapai, yaitu nilai MP mencapai ketuntasan atau sesuai dengan target pribadinya. Upaya instant yang dapat ditempuh untuk mendongkrak prestasi belajar siswa adalah dengan mencari pelajaran tambahan di sekolah, memanggil guru privat ke rumah, atau ikut bimbingan belajar (bimbel). Ketiganya membawa konsekuensi logis secara ekonomis, yakni memerlukan dana-biaya.

Sebagai pilihan populer para siswa, bimbel umumnya dijadikan tempat untuk menggenjot nilai hasil belajar di sekolah, selain untuk mempersiapkan diri ke perguruan tinggi. Sah-sah saja kalau siswa dan orang tuanya berpersepsi seperti itu.

Adanya prestise, tuntutan, dan kegalauan orang tua agar anaknya memeroleh hasil belajar yang tinggi ini memang menjadi lahan yang subur bagi bisnis pendidikan yang berkibar sebagai ¡°bimbel¡±. Akan tetapi, apakah bimbel ini benar-benar membimbing anak untuk dapat belajar dengan baik melalui usahanya sendiri dan sesuai dengan hakikat belajar? Hakikat belajar ialah suatu proses psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif subjek dengan lingkungannya dan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai-sikap, yang bersikap konstan atau menetap.

Sebagaimana kita ketahui, di bimbel, anak dijejali dan didrill dengan soal-soal. Hakikat belajar dibelokkan menjadi kemampuan menjawab soal. Nilai tambah bimbel tinimbang sekolah adalah ketersediannya memberikan rumus-rumus praktis pelajaran. Bahkan tidak tertutup kemungkinan adanya ¡°oknum¡± bimbel yang berkolusi dengan aparat pendidikan untuk mendapatkan bocoran soal dan kunci jawaban ulangan umum hingga ujian nasional (UN) kepada para siswanya agar memeroleh nilai tinggi di sekolahnya atau lulus UN. Anehnya, bimbel yang model begini siswanya melimpah ruah.

Fenomena di atas telah mendestruksi nilai-nilai eduatif dan moral anak, serta menumbuhkembangkan mental menerabas, mau gampangnya saja. Nilai kejujuran tercabik-cabik. Terjadilah superioritas semu. Bila anak dikondisikan terus-menerus seperti itu, pada gilirannya akan menimbulkan reduksi moral yang permanen. Orang tua dan masyarakatlah kelak yang akan menanggung dampaknya.

Pada hakikatnya, jika seorang siswa belajar dengan sungguh-sungguh di sekolah serta diteruskan dengan tekun, teratur, dan tertib di rumahnya niscaya akan meraih hasil belajar yang baik pula. Namun, anak yang terobsesi oleh tuntutan orang tua, terpengaruh teman-temannya, dan terpincut promosi pengusaha bimbel ini sebenarnya adalah anak yang mempunyai kemampuan dan kekurangan sekaligus.

Kemampuannya adalah anak sanggup menjaga prestise orang tua, bergaul dengan sesamanya (=jadi anak gaul), dan mampu membayar ratusan ribu bahkan jutaan rupiah biaya bimbel. Kekurangannya adalah cuma satu, kurang pede (percaya diri). Kekurangpercayaan pada kemampuannya sendiri, pada proses belajarnya sendiri, pada kegiatan pendidikan di sekolahnya sendiri inilah yang menyuburkan ladang bisnis bimbel di kota-kota besar.

Jadi, ikut bimbel itu perlu atau tidak?

Bagi siswa yang sulit belajar mandiri, kurang dapat mengikuti pelajaran dari guru di sekolah atau kondisi lingkungan rumahnya tidak kondusif untuk belajar dan (yang terpenting!) orang tuanya memiliki cukup dana-biaya, maka ikut bimbel sangat direkomendasikan di sini. Tetapi dengan catatan, siswa tetap pro-aktif selama ikut bimbel, jangan pasif, cuma menjadi penonton para pengajar bimbel (tentor) yang sibuk mengotak-atik jurus/rumus singkat pemecahan soal. Siswa, selain rajin mencatat penjelasan para tentor dan menyimak buku-buku panduannya, juga harus aktif bertanya baik selama proses belajar berlangsung maupun di luar waktu itu, jika sekiranya ada materi soal yang tidak dimengertinya. Jangan menyia-nyiakan ratusan ribu hingga jutaaan rupiah uang orang tua kalau hanya untuk berbengong ria atau ngerumpi sesama siswa di bimbel!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar