Selasa, 19 Mei 2009

Perilaku Belajar Mahasiswa di Indonesia

Belajar merupakan hak setiap orang, akan tetapi kegiatan belajar di suatu perguruan tinggi merupakan suatu hak istimewa karena hanya orang yang memenuhi syarat saja yang berhak belajar di lembaga pendidikan tinggi tersebut.
Dengan pengakuan tersebut, harapan adalah bahwa seorang yang telah mengalami proses belajar secara formal akan mempunyai wawasan, pengetahuan, keterampilan, kepribadian dan perilaku tertentu sesuai dengan apa yang ingin dituju oleh lembaga pendidikan.
Tujuan lembaga tinggi pendidikan pada umumnya dikaitkan dengan tujuan pendidikan nasional. Yang perlu dicatat bahwa belajar merupakan kegiatan individual tertentu.
Suatu fakta angan-angan individual terhadap career plan merupakan gejala belajar seseorang di perguruan tinggi dan merupakan suatu kebutuhan (needs). Kebutuhan ini akhirnya menentukan sikap, perilaku dan pandangan belajar di perguruan tinggi yang merupakan suatu prospek penting dalam career plan seseorang dewasa ini.
Ada dua tujuan yang terlibat dan saling menunjang dalam proses belajar mengajar di perguruan tinggi. Yang pertama adalah tujuan lembaga pendidikan dalam menyediakan sumber pengetahuan dan pengalaman belajar (knowledge and learning experience) yang kedua adalah tujuan individual mereka yang belajar (mahasiswa).
Proses belajar mengajar mestinya harus mampu menyelaraskan tujuan individual dan tujuan lembaga pendidikan dan bahkan tujuan pendidikan nasional. Dua hal di atas kadang-kadang tidak disadari benar baik oleh penyelenggara pendidikan maupun oleh mahasiswa.

Kegiatan belajar hampir tidak ada bedanya dengan kegiatan mengajar dalam suatu kursus atau pendidikan keterampilan. Masalahnya sekarang adalah apakah tujuan individual seseorang memasuki perguruan tinggi? Hal ini yang acap kali diidentifikasi atau dirumuskan dengan jelas oleh mereka yang memutuskan untuk belajar di perguruan tinggi.

Gejala yang sering dirasakan di Indonesia adalah belajar di perguruan tinggi lebih merupakan kebutuhan sosial orang lain (misalnya orang tua), akibatnya, belajar dianggap sebagai suatu beban dan penderitaan.

Apakah tujuan yang ingin dicapai melalui belajar-mengajar yang disebut kuliah. Kuliah merupakan bentuk interaksi antara dosen, mahasiswa dan pengetahuan. Pemahaman dan persepsi mengenai hubungan ketiga faktor tersebut sangat menentukan keberhasilan proses belajar.

Perilaku Belajar
Bisa dikatakan mahasiswa Indonesia menganggap kuliah merupakan sumber pengatahuan utama, bahkan satu-satunya, sehingga catatan kuliah merupakan jimat yang ampuh dan dosen merupakan dewa pengetahuan.

Lingkungan belajar seperti ini menempatkan dosen menjadi seperti tukang sulap yang kelihatan pintar tetapi hanya karena mengetahui muslihat-muslihat (tricks) yang sengaja disembunyikannya dan kemudian menjual pengetahuan tersebut melalui loket kuliah.

Kebanyakan mahasiswa di Indonesia memperoleh pengetahuan sedikit demi sedikit seperti membeli kue dari sebuah warung. Kekeliruan persepsi ini bukan semata-mata kesalahan mahasiswa, persepsi tersebut dapat timbul justru dari sikap dosen yang secara tidak sadar telah menciptakan kondisi demikian.

Akibatnya, mahasiswa kebanyakan mempunyai perilaku untuk hanya datang, duduk,dengar dan catat [D3C]. Catatan kuliah dianggap sumber pengetahuan dan bahkan kalau perlu mahasiswa tidak usah datang ke kuliah tetapi cukup dengan mengkopi saja catatan mahasiswa yang lain.

Karena pendekatan pengendalian proses belajar-mengajar di kelas yang kurang mendukung, banyak mahasiswa yang merasa nyaman menjadi "mesin dengar kopi". Kalau tujuan individual akan dicapai secara efektif, arti kuliah harus diredifinisi dan dilaksanakan secara konsekuen.

Mahasiswa dan dosen mempunyai kedudukan yang sama dalam akses terhadap pengetahuan. Dengan konsep ini, pengetahuan merupakan barang bebas, walaupun diperlukan biaya untuk memperolehnya. Dosen berbeda dengan mahasiswa karena wawasan dan pengalaman-pengalaman berharga yang dimilikinya yang berkaitan dengan pengetahuan tersebut.

Wawasan dan pengalaman dosen diperoleh karena mereka telah mengalami proses belajar serta pergaulannya dengan para praktisi atau karena riset serta penelitian yang dilaksanakan. Dengan demikian, kuliah harus diartikan sebagai forum untuk mengkonfirmasikan pemahaman mahasiswa terhadap pengetahuan yang bebas tersebut.

Fakta yang tidak dapat dihindari adalah bahwa waktu kuliah (tatap muka) adalah sangat pendek dan terbatas. Di pihak lain, cukupan materi kedalaman pemahaman tidak dapat diberikan secara seketika dalam waktu pendek tersebut.
Masalahnya adalah, apakah yang harus dikerjakan dalam waktu yang sangat pendek dan terbatas tersebut ? Kalau kuliah diisi dengan kegiatan yang sebenarnya mahasiswa dapat melakukannya sendiri di luar jam temu kelas.
Maka kelas tersebut sama sekali tidak mempunyai nilai tambah. Tidak terjadi proses belajar yang sesungguhnya, yang terjadi adalah pengalihan catatan dosen ke catatan kuliah mahasiswa melalui proses "mesin dengar kopi", sebuah proses yang bahkan jauh lebih primitif dibandingkan dengan fotokopi.
Keefektifan temu kelas dalam menunjang proses belajar sangat bergantung pada pemahaman konsepsi dosen dan mahasiswa terhadap arti temu kelas. Kesenjangan pengertian dapat menimbulkan frustasi di kedua belah pihak.
Adakah fakta merupakan education culture di Indonesia? Sulit untuk mendeteksi mengapa ini sampai terjadi dan terus dilestarikan. Kemungkinan yang sangat logis adalah kurangnya kesiapan lembaga pendidikan, dosen dan mahasiswa untuk terus memberdayakan diri melalui bacaan, kuliah konvensional, sehingga terlihat tidak ada upaya dan usaha dalam self improvement.
Faktor lain terbatasnya sarana dan prasarana (buku, artikel, komputer) yang tersedia untuk bisa akses dalam pemberdayaan dan pengembangan diri. Situasi ini membuat kita berada pada disadvantaged position.
Untuk membenahi kesenjangan ini perlu bagi kita agar berlaku arif bahwa mahasiswa dan dosen mempunyai kedudukan yang sama dalam akses terhadap pengetahuan. Sudah saatnya sekarang kita bersama-sama mengartikan proses belajar merupakan kegiatan untuk memperkuat pemahaman mahasiswa terhadap materi pengetahuan sebagai hasil kegiatan belajar mendiri. Agar image dosen tukang sulap, mahasiswa yang telah terlanjur menjadi "mesin dengar kopi" dapat ditingkatkan menjadi proses belajar mandiri, komunikatif, dinamis dan inovatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar