Selasa, 19 Mei 2009

Sarjana Dadakan, Profesionalkah?

Sebuah perguruan tinggi swasta menawarkan jenjang pendidikan S-1 dengan waktu studi hanya 1 tahun dengan biaya kurang dari Rp 10 juta.
Sertifikasi guru, sebuah kebijakan pemerintah untuk menyejahterakan kehidupan para pendidik. Salah satu syarat utama untuk mendapat sertifikasi adalah, pendidik minimal mempunyai ijazah S-1. Sementara, saat ini masih banyak sekali guru yang hanya berijazah D-1, D-2, D-3, S-1 drop-out, bahkan ada yang hanya lulusan SMA. Mereka tentu tak ingin terganjal mendapatkan sertifikasi karena alasan jenjang pendidikan.
Merespons kebutuhan 'pasar', banyak perguruan tinggi ramai-ramai membuka program pendidikan S-1 transfer, kelas jarak jauh, atau ekstensi Sabtu-Minggu. Ada pula yang menawarkan program S-1 instan, satu tahun dijamin bisa mendapat gelar sarjana. Program ini, tentu saja, banyak diminati orang-orang yang tergiur mengejar sertifikasi.
Program sarjana instan ini, entah siapa yang berani menjamin kualitasnya. Karena idealnya, jenjang S-1 ditempuh dalam waktu empat tahun, dengan memperhitungkan banyaknya mata kuliah yang harus diambil, disertai kuliah praktik, magang, KKN, dan penyusunan skripsi.
Mari kita berpikir bijak, pendidikan merupakan wahana untuk mendapatkan pencerahan, baik ilmu, sikap, dan moral. Apalah artinya gelar tinggi tetapi tidak bermoral. Pendidikan bukanlah ajang bisnis, kalaupun akan dikomersialisasikan, hendaknya tetap sesuai aturan main, jangan menyimpang dari rel.
Gelar yang melekat di belakang atau di depan nama, merupakan tanggung jawab. Jika kita menyandang gelar sarjana x, tetapi tidak menguasai masalah x, apakah bisa disebut profesional?
Sertifikasi guru, jangan menjadikan kita salah langkah. Bila guru sudah salah langkah, bagaimana bisa mendidik para siswa? Siapa lagi yang jadi suri tauladan?
Instansi pemerintah ataupun penerima tenaga kerja harus benar-benar selektif dalam menyeleksi ijazah, antara sarjana dadakan dan sarjana murni yang ditempuh sesuai jalur, agar tidak terjadi kecemburuan sosial, atau bahkan pelecehan terhadap dunia pendidikan Indonesia.
Gelar adalah beban moral, bukan alat gagah-gagahan. Berani menyandang gelar, berarti harus mumpuni dengan kompetensi keilmuannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar