Senin, 18 Mei 2009

Jadi Anak Berbakat? Why Not?

Jadi Anak Berbakat? Why Not?


Sekarang ini banyak sekali diadakan kelas untuk anak berbakat (gifted child) atau biasa disebut kelas akselerasi. Tapi sebenernya, anak berbakat itu kaya apa siy? Apakah anak berbakat itu memang sudah dicetak seperti itu dari sononya? Atau bisa dibikin sendiri? Trus gimana dengan kita yang merasa tidak atau kurang berbakat? Menurut Joseph Renzulli (1978), gifted child itu mencakup tiga hal, IQ, kreativitas dan task commitment.

IQ

Kita sudah tau apa itu IQ. Standard yang ditetapkan untuk anak berbakat oleh Diknas tahun 2003 adalah 140 . Kalau hasil tes menunjukkan IQ anak mencapai 140 ke atas, maka anak itu otomatis disebut gifted child.

Tetapi kemudian muncul pembagian tertentu untuk anak berbakat dilihat dari IQnya. Keberbakatan ringan (IQ 115 - 129), keberbakatan sedang (IQ 130 - 144), keberbakatan tinggi (IQ 145 ke atas).

Sekolah menetapkan peraturan sendiri dalam menjaring anak berbakat. Ada kelas yang hanya menerima anak dengan IQ 140 ke atas. Tetapi ada juga yang menerima anak dengan keberbakatan ringan dengan mempertimbangkan hasil tes kreativitas, tes task commitment dan hasil wawancara.

Kreativitas

Kreativitas bisa diartikan sebagai kemampuan untuk menciptakan hal-hal baru atau kemampuan untuk membuat kombinasi-kombinasi baru dari yang sudah ada. Kreativitas dapat dinilai dari 4 hal, produk, pribadi, proses dan pencetus / penghambat. Suatu produk dikatakan kreatif kalau produk itu baru, berbeda dari yang sudah ada, lebih baik dari yang lain dan tentu saja berguna. Sedangkan pribadi yang kreatif adalah pribadi yang memiliki pola pikir luwes, lancar dan original serta peka terhadap masalah di lingkungan sekitar. Jadi, orang yang kaku, cuek n ga peduli sama lingkungan sekitar, jelas ga bisa dibilang kreatif. Sifat pribadi kreatif yang lain adalah terbuka pada hal-hal baru, punya rasa ingin tau yang besar, ulet, mandiri, berani mengambil resiko, berani tampil beda, percaya diri dan humoris. Loh kok humoris ikut juga? Iya. Orang yang humoris punya banyak pemikiran kreatif, beda dari yang lain dan simpanan kosakata yang banyak. Hebatnya, dia bisa memunculkan ketiga hal itu hanya dalam hitungan detik setelah ia melihat atau mendengar sesuatu.

Proses untuk menjadi kreatif meliputi persiapan atau perencanaan, verifikasi atau pembuktian, dan implementasi atau penerapan. Ada juga hal-hal lain yang berfungsi sebagai pencetus kreativitas sekaligus sebagai penghambat. Antara lain bakat, lingkungan, dan kebudayaan masing-masing. Menurut Silvano Arieti, 1976, kebudayaan yang menunjang, memupuk dan memungkinkan perkembangan kreativitas disebut creativogenic. Percaya atau tidak, tanpa mendiskriminasi budaya tertentu, ada loh budaya yang menghambat kreativitas, seperti menilai kalo cewek tuh ngga pantes kuliah di fakultas teknik karena itu jurusan cowok. Padahal, siapa tau kalo dikasih kesempatan, cewek itu bakal jadi teknisinya mobil-mobil yang ikut F1! Ato melarang cowok melakukan hal-hal tertentu yang dianggap hanya boleh dilakukan oleh cewek kaya main boneka karena itu adalah mainan cewek sekaligus pendidikan bagi cewek biar dia terbiasa merawat bayi. Padahal, udah jelas-jelas kalo lahirnya seorang bayi itu adalah hasil kerjasama antara laki-laki dan wanita. Artinya, cowok pun bakal punya bayi nantinya, so, apa salahnya kalo mereka main boneka? Itu justru melatih empati mereka.

Task Commitment

Task commitment adalah sejauh mana tanggung jawab kita dalam meyelesaikan tugas. Tidak hanya tugas dari sekolah tapi juga tugas di rumah dan di sekitar kita. Task commitment dapat diukur melalui tes tertentu yang hanya boleh dilakukan oleh psikolog. Task commitment ini mencakup tanggung jawab, motivasi, keuletan, kepercayaan diri, memiliki tujuan yang jelas sebelum melakukan sesuatu dan kemandirian.

Anak yang memiliki task commitment yang tinggi tidak memerlukan dorongan dari luar untuk menyelesaikan tugasnya. Ia juga menyelesaikannya secara mandiri dan ulet serta memiliki tujuan yang jelas. Dan yang ngga kalah penting, tidak suka menunda-nunda pekerjaan.

Jadi gimana dengan kamu? Apakah kamu cukup pede untuk menyebut dirimu gifted? Well, mungkin IQ yang kamu punya ngga nyampe 140. dan karena makin dewasa seseorang IQnya cenderung konstan, maka meningkatkan IQ di usia sekarang rasanya sulit dan hampir ngga mungkin. Biarlah IQ kita tetep segitu, masih ada dua faktor lain yang bisa mendukung keberbakatan kita, yaitu kreativitas dan task commitment kita. Dua hal ini bisa dilatih kok. Mulailah dari hal sepele seperti tidak melempar tugas yang diberikan mama pada orang lain seperti pembantu atau adik. Kalo ortu nyuruh kita dan kita bisa melakukannya, do it yourself! Kita juga bisa belajar menentukan tujuan yang harus kita capai di akhir semester, merencanakan apa saja yang harus kita lakukan untuk meraih tujuan itu dan patuh pada rencana yang sudah kita buat. Contoh lain, kalo selama ini kita sering menunda menyelesaikan tugas, mulai sekarang jangan ditunda lagi. Itu menunjukkan kita memiliki task commitment yang tinggi. Kalo selama ini kita suka ngintip kerjaan temen, mulai sekarang kerjakan secara mandiri sesuai kemampuan kita.

Menjadi gifted child bukan sekedar soal masuk kelas akselerasi, lulus lebih cepat dari anak yang lain atau dibilang berbakat. Lebih dari itu, pikirkan masa depan kamu yang cerah kalau kamu bisa menjadi anak kreatif dan bertanggung jawab. Pikirkan juga masa depan bangsa kita kalau sedari kecil anak-anak sudah dibiasakan untuk menjadi kreatif dan bertanggung jawab. Hal-hal yang keliatannya sepele sebenernya bisa mengubah diri kita secara keseluruhan.

So guys, dare to be gifted?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar