Senin, 18 Mei 2009

PENDIDIKAN AGAMA DAN TOLERANSI

PENDIDIKAN AGAMA DAN TOLERANSI

Pernah ditulis di Jurnal At Tarbawi Jurusan Tarbiyah STAIN SURAKARTA

"Abstract : In reality of Religion Education fail in to develop the diversity awareness of tribe, religion, race and inter-communities (SARA). This Condition is more critic that religion teacher have never been involved in the sensitivity practice of diversity. As a result in class, religion teacher unable to internalize of tolerance values to pupil. Especial source of Islam (Qur'an and Hadis) have taught since ago of how material and method which can develop the understanding the tribe, religion, race and inter-communities (SARA). But its problem exactly discourse of development understanding the SARA from the especial source not yet implementation by Islamic Religion Teacher."

A. Pendahuluan

Refleksi tentang lemahnya kepekaan masyarakat untuk membangun toleransi, kebersamaan, khususnya dengan menyadari keberadaan masyarakat yang majemuk, menurut GBHN 1999, diantaranya disebabkan pelajaran yang berorientasi akhlak/moralitas serta pendidikan agama kurang diberikan dalam bentuk latihan-latihan pengamalan untuk menjadi corak kehidupan sehari-hari. Pernyataan di atas disepakati sebelumnya oleh Bachtiar Effendy (2001:276) yang menyatakan bahwa tak jarang dunia pendidikan justru mengembangkan persoalan-persoalan yang dapat memperuncing kerukunan kehidupan antar umat beragama. Senada dengan dua pernyataan di atas, Presiden Megawati (Solo Pos, 18 Mei 2004) menyatakan bahwa pendidikan agama justru mengembangkan sikap fanatisme yang berlebihan sehingga toleransi sangat rendah. Kritik ini memang tidak dapat dipungkiri, karena dalam pendidikan agama selama ini lebih mementingkan ranah kognitif yang dangkal, yaitu sebatas hafalan-hafalan teks tanpa ada pemaknaan realitas. Teks kering inilah yang menggiring para siswa hanya sekedar menjadi robot yang tidak bisa memaknai kehidupan riil di masyarakatnya. Mereka memberlakukan masyarakat seperti yang dibaca dalam teks, yang dilepaskan dari asbab al nuzul (sebab-sebab turun) maupun asbab al wurudl-nya (sebab-sebab diucapkan).

Selain itu pendidikan norma lebih sering mementingkan bagaimana membuat jawaban-jawaban legitimasi dari pertanyaan yang sering muncul dalam sebuah kegiatan keagamaan, termasuk dalam pengajaran yang kental bermuatan etik. Jawaban semacam ini menjadikan sekolah keagamaan, menurut Stanton (1994:233) gagal dalam mengembangkan ilmu pengetahuan pada semua bidang studi dan keilmuan serta kreativitas keilmuan. Sedikit-sedikit dinyatakan haram dan tidak boleh. Akibatnya banyak terjadi kebekuan dalam beragama dan pemeluk agama kurang toleran terhadap pemeluk agama lain maupun berbeda mazhab/aliran yang dianut. Begitu pula budaya dialog antar wacana, buku di lawan dengan buku (contoh kasus wacana yang dibangun Ibnu Rusyd dengan Al Ghazali, antar Imam Mazhab, atau Imam Syafi'i dengan Qaul al-Qadim dan Qaul al-Jadiid) tidak berkembang dalam masyarakat kekinian dan kedisinian dari pemeluk agama. Umat bereaksi sangat keras dengan cara meminta pada penguasa untuk melarang peredaran buku atau membakar buku yang tidak disepakatinya. Perilaku kontraproduktif inilah yang justru bisa menghancurkan peradaban manusia.

B. Realitas Pendidikan Agama

Secara umum Agama menurut Kuntowijoyo (2001: 306) diajarkan dan disampaikan kepada pemeluknya mendasarkan pada 3 nilai berikut ini:

Tabel 1. Nilai-Nilai Agama Yang Diajarkan
Dasar: Nilai-nilai Islam Mitos Ideologi Ilmu
Cara Berfikir Pra-logis Non-logis Logis
Bentuk Magis Abstrak/apriori Kongkrit/empiris

Dari ketiga nilai tersebut, pembelajaran agama selama ini lebih didominasi oleh Nilai Agama berdasar Mitos. Akibatnya yang sering muncul agama dimanifestasikan dalam bentuk mengambil ayat-ayat kitab suci agama untuk mengusir syetan, dan pemilihannya berdasar kebutuhan yang tidak sesuai dengan nilai spirit agama. Fenomena ini diperkuat dengan banyaknya tayangan TV yang melanggengkan agama hanya sebatas mitos, seperti tayangan Dunia Lain, Gentayangan, maupun tayangan mistik lainnya.

Dominasi lain berupa pembelajaran agama berdasar ideologi. Model ini lebih mengutamakan klaim-klaim yang belum terbukti dan belum dipraktekkan di masyarakat yang memeluk agama tertentu. Lebih diperparah lagi dalam praksis pembelajaran atau pendidikan agama maupun moral mengalami realitas obyektif yang buruk, menurut Komarudin Hidayat (Fuadudin dan Cik Hasan Basri, 1999: xii-xiii) dikarenakan:

  1. Pendidikan Agama lebih berorientasi pada belajar tentang Agama.
  2. Tidak tertibnya penyusunan dan pemilihan materi-materi pendidikan agama, sehingga sering ditemukan hal-hal yang prinsipil yang seharusnya dipelajari lebih awal, malah terlewatkan.
  3. Kurangnya penjelasan yang luas dan mendalam serta kurangnya penguasaan semantik dan generik atas istilah-istilah kunci dan pokok dalam ajaran agama sehingga sering ditemukan penjelasan yang sudah jauh dan berbeda dari makna, spirit dan konteksnya.

Selain itu ada indikasi lain bahwa ada ketakutan tokoh agama terhadap posisinya yang bisa bergeser seiring dengan perubahan keilmuan umat. Kuntowijoyo (2001:35) merunut perkembangan posisi tokoh agama sebagai berikut:

Tabel 2. Pergeseran Tokoh Agama Berdasar Perubahan Masyarakat
Masyarakat Ulama Komunikasi Peran Rekrut men Hubungan Sifat Solidari tas
Pra-Industri Kiai Lisan Sosial Genealogis Kiai-Santri Tertutup Mekanis
Semi-Industrial Guru Tertu lis Politik Segmen tal Guru- Murid Perantara Organis
Industrial Mitra Elektronik Intelektual Sporadis Elite-Massa Terbuka Prolife rasi

Guru/tokoh agama akan mengalami pergeseran seiring perkembangan masyarakatnya. Peserta didik tidak semata-mata belajar dari satu sumber dan media tetapi beragam. Bahkan merekapun bisa belajar sendiri dan tidak harus bergantung pada satu guru. Peserta didik bisa belajar dari compact disk, internet dan software lainnya. Kenyataan ini membatasi peran guru/tokoh agama hanya terbatas pada peran intelektual, yang berarti bisa dibanding-bandingkan pendapatnya bahkan bisa terbantahkan apa yang disampaikan. Guru/tokoh agama bisa memiliki peserta didik yang beragam dan berganti-ganti. Konsekuensinya satu peserta didik bisa memiliki lebih dari satu guru, baik manusia maupun non manusia. Bisa juga sebaliknya, satu guru memiliki peserta didik yang selalu berganti dari waktu ke waktu. Akibatnya memunculkan fenomena baru yaitu peserta didik bebas dan guru bebas.

Kondisi ini lebih diperparah bahwa guru pendidikan agama di sekolah belum mengikuti perkembangan semacam itu, terutama tuntutan sosiologis yaitu toleransi antar agama/aliran/mazhab. Dan ini diperparah bahwa para guru pendidikan agama hampir tidak pernah dilibatkan dalam gelombang pergumulan pemikiran dan diskursus pemikiran keagamaan di seputar isu pluralisme dan dialog antar umat beragama (Abdullah, 2001:248). Sehingga kasus terakhir muncul yaitu kontroversi tentang pendidikan agama dan tujuan pendidikan yang dianggap "sangat agamis" karena mencantumkan pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).

C. Beberapa Upaya Pengembangan Toleransi

Sekolah terhegemoni oleh penguasa dan tokoh agama, dengan tafsir tunggal ideologi negara dan agama. Akibatnya mereka kurang memahami pluralisme dalam masyarakatnya. Dalam hal ini Komarudin Hidayat (1999) memberikan pemikiran ideal yang menarik tentang pendidikan/pengajaran agama yang relatif adaptif dengan perkembangan dan realitas masyarakatnya yaitu dengan membebaskan diri dari dikte-dikte sejarah masa lalu, membaca dan memahami ayat-ayat suci beserta sebab-sebab turunnya, dan mengeluarkan makna etisnya. Secara lebih operasional, Soedjatmoko (1976) memberikan sebuah tawaran agar pengajaran/pendidikan agama perlu sinkronisasi, kerjasama dan diinteraksikan dengan pendidikan non agama, sehingga memudahkan peserta didik mengamalkan agama ke dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini dioperasionalkan secara lebih teknis oleh Mochtar Buchori (1994: 56) dengan cara setiap jam kegiatan pendidikan agama memperkaya program pendidikan umum, sedangkan setiap jam kegiatan pendidikan umum akan memantapkan program pendidikan agama.

Disinilah pendidikan agama tidak boleh terlampau bersikap menyendiri, tetapi harus saling bekerjasama dengan ilmu lain. Bentuknya bisa berupa latihan-latihan pengamalan keagamaan, sehingga pendidikan menjadikan orang beragama secara transformatif. Artinya pendidikan agama yang bisa memperkuat rakyat lewat praksis sosial dan politik, tawar-menawar dengan negara serta berorientasi pada pemecahan problematika ummat. Dengan demikian tidak akan terjadi kerusuhan hanya dikarenakan perbedaan aspirasi politik, agama, suku, golongan atau yang lain. Model yang ditawarkan, menurut Soedjatmoko (1976) akan membawa peserta didik bisa memahami konsep Tauhid, bahwa mereka adalah sama kedudukannya atau setara di hadapan Tuhan sehingga bisa dan mau menghormati setiap perbedaan di antara manusia. Keberlangsungan proses tauhid dalam setiap praxis sosiologis akan juga membawa praxis emansipatoris di kalangan umat, sehingga agama akan menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Pemikiran di atas disimpulkan secara menarik oleh Quraish Shihab (1997: 185-188) bahwa pendidikan agama haruslah menghasilkan "agamawan-agamawan yang berilmu" dan bukan sebatas "ilmuwan-ilmuwan bidang agama". Orientasi semacam itu membawa konsekuensi pendidikan agama yang bermuatan syari'at yang berkaitan ritual agama diusahakan menjelaskan hikmah al-tasyri' agar anak didik dapat memahami dan menghayati sebab dan manfaat yang diperoleh. Begitu pula yang bermuatan aqidah diberikan secara berhati-hati dengan memperhatikan pemahaman internal dan eksternal masing-masing ummat beragama, agar terjadi kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian menurut Abdullah (2001: 15) pendidikan agama haruslah memperkuat dan memperteguh dimensi kontrak sosial keagamaan.

D. Model Pendidikan yang Toleran

Pendidikan yang toleran bisa dikembangkan melalui dua model, yaitu:

1. Model aksi-refleksi-aksi dalam pembelajaran yang lebih mementingkan pada siswanya. Model ini diterapkan oleh Paulo Freire yang lebih mementingkan pembelajaran hadap masalah (poblem possing) dengan paradigma kritis menggunakan dialog antara fasilitator dan pembelajar yang membawa percakapan yang bernilai pengalaman divergen, harapan, perspektif, dan nilai (value). Dialog yang digunakan bukan bermakna sebatas teknis dan taktik, tetapi komunikasi kritis yang berarti merefleksikan bersama (guru dan siswa) apa yang diketahui dan tidak diketahui kemudian bertindak kritis untuk mentransfomasi realitas (Freire dan Shor, 2001: 51-52). Yang utama dari paradigma ini adalah pengakuan manusia sebagai hal yang sentral bagi sebuah perubahan yang memandang sistem dan struktur sosial secara kritis (Mansour Fakih, 1996: 63). Pembelajaran ini bersifat membebaskan yang memiliki prasyarat (diilhami dari sebuah buku Riset Partisipatoris Riset Pembebasan, karya Walter Fernandes dan Rajesh Tandon), diantaranya:

  • Tidak ada pembagian kekuasaan, kedudukan guru dan siswa adalah seimbang dalam mencari kebenaran ilmu pengetahuan (setara dalam srawung ilmiah). Keduanya merupakan mitra belajar sehingga harus saling menghormati.

  • Penggunaan sumber daya setempat (khususnya murid, sumber belajar, bahan ajar, dan lainnya yang terkait dengan pembelajaran). Sumber dari luar siswa hanya memainkan peran pendukung dan tidak lagi merupakan sumber dominan dan kontrol.

  • Pembelajaran mengakar pada konteks setempat, model rancangan dan pelaksanaan model secara sederhana dan relevan berasal dari masukan siswa.

  • Menekankan pada pembelajaran kualitatif dan berorientasi pada proses.

2. Model Ignasian. Model ini hampir mirip dengan yang pertama, langkah yang ditempuh meliputi: konteks, pengalaman (langsung maupun tidak langsung), refleksi (daya ingat, pemahaman, daya imajinasi dan perasaan) untuk menangkap arti dan nilai hakiki dari apa yang dipelajari, aksi (tindakan ini mengacu kepada pertumbuhan batin manusia berdsarkan pengalaman yang telah direfleksikan dan mengacu juga kepada yang ditampilkan), dan evaluasi (Drost, 1999: 45-58).

Dua model di atas memang belum biasa dikembangkan di sekolah-sekolah Islam tetapi bisa diterapkan. Hal ini tentunya tergantung dari kesiapan para pengajar dari segi pengetahuan dan pengalaman masing-masing.

E. Praksis Pendidikan yang Toleran

Pemikiran dua model di atas bisa digambarkan secara praksis dalam kegiatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam.

1. Pendidikan Tauhid

Pendidikan yang toleran memang tidak bisa hanya sebatas diceramahkan, tetapi harus dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari peserta didik di tingkat sekolah, keluarga, maupun masyarakat. Al Qur'an dan Hadis sebenarnya memberikan pernyataan yang mengarahkan bahwa dalam mendidik orang lain tidak boleh hanya diceramahkan secara lisan, tetapi lebih banyak melalui tahapan aksi, refleksi dan aksi. Seperti yang diungkapkan dalam Qur'an Surat Arrum (30): 41- 43:

" Telah nampak kerusakan di darat maupun di lautan disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar. Katakanlah Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dahulu, kebanyakan mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah). Oleh karena itu hadapkanlah wajahmu kepada agama yang lurus (Islam) sebelum datang dari Allah suatu hari yang tak dapat ditolak (kedatangannya) pada hari itu mereka berpisah-pisah."

Ayat tersebut menunjukkan bahwa dalam Pembelajaran tentang Menghormati Lingkungan Hidup yang lebih mengena adalah mengalami sendiri, tetapi bisa saja melakukan refleksi maupun aksi. Bentuk refleksinya melalui kegiatan perjalanan di muka bumi (field trip atau yang sejenis) dan tahapan aksinya berupa perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dahulu (Metode yang dipakai bisa metode induktif, deduktif maupun studi kasus). Setelah ada proses refleksi ditutup dengan kesadaran untuk aksi berupa ketundukan hakiki kepada Islam. Spirit ayat ini menunjukkan bahwa metode ceramah perlu dikurangi maupun dihindari, karena Allah dalam ayat lain menyatakan:

" Hai orang-orang beriman mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu lakukan. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu tetapi tidak kamu kerjakan. (Ash Shaaf: 2-3). "

Bentuk lain yang disampaikan oleh Allah melalui Qur'an berkait dengan pembelajaran Tauhid dalam Surat Al Baqarah: 258-260.

" Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaaan). Ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan", orang itu berkata: "saya dapat menghidupkan dan mematikan". Ibrahim berkata: "sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur maka terbitkanlah dia dari barat." Lalu heran terdiamlah orang kafir itu, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. "

" Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atap-atapnya. Dia berkata: "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah roboh?" Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: Berapakah lamanya kamu tinggal di sini? Ia menjawab: "Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari". Allah berfirman: "sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); kami akan menjadikan kamu tnda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami menutupinya dengan daging". Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata: "Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu". "

" Dan (ingatlah ketika Ibrahim) berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "apakah kamu belum percaya?" Ibrahim menjawab: "Saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya." Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung. Lalu potong-potonglah burung-burung itu kepadamu, kemudian letakkanlah tiap bagian (dari yang telah dipotong itu) daripadanya atas tiap-tiap bukit. Sesudah itu panggillah dia, niscaya dia akan datang kepadamu dengan segera." Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. "

Tiga ayat yang berurutan ini memaparkan bahwa Pendidikan Tauhid memerlukan proses panjang dengan tahapan aksi, refleksi, aksi. Tahapan aksi pada ayat 258 bahwa dalam pembelajaran Tauhid memerlukan metode dialog, metode pembuktian, dan memerlukan refleksi setelah terjadinya dialog. Ketika refleksi berlangsung ternyata tidak mentauhidkan Allah, itu semua sudah merupakan urusan Allah. Disinilah peran guru sebatas fasilitator bagi peserta didiknya, sehingga guru tidak begitu perlu mengajarkan agama secara dogmatis tetapi yang memberdayakan siswa.

Begitupula ayat selanjutnya Allah mendiskripsikan bagaimana mendidik ajaran Tauhid pada ummatnya melalaui Nabinya. Proses yang dipakai memakai tiga tahapan juga, yaitu tahapan aksi berupa perintah untuk melakukan penelaahan kejadian-kejadian di sekitar manusia melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atap-atapnya. Dilanjutkan oleh Allah agar manusia melakukan refleksi berupa pernyataan Dia berkata: "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah roboh?" Pernyataan Tuhan semacam ini belum bisa dicerna oleh logika manusia. Tindaklanjutnya berupa aksi melalui Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Setelah dihidupkan manusia dituntun untuk melakukan refleksi dan aksi secara berbarengan melalui sebuah dialog antara Allah dengan manusia: "Berapakah lamanya kamu tinggal di sini? Ia menjawab: "Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari". Allah berfirman: "sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami menutupinya dengan daging". Kegiatan terakhir dengan tahapan aksi berupa keyakinan seseorang setelah tahapan-tahapan sebelumnya dilakukan. Ayat selanjutnya juga memakai tahapan yang tidak berbeda dengan dua ayat sebelumnya, tetapi yang melakukan aksi, refleksi, dan aksi adalah Nabi Ibrahim untuk memperkuat keimanannya.

Ayat lain juga menunjukkan bahwa pembelajaran Tauhid ataupun Aqidah tidak harus didoktrinkan tetap harus melalui dialog - baik melalui dialog antar individu, dialog dengan masyarakat maupun dialog dengan fenomena alam. Seperti Dialog Ibrahim dengan fenomena Alam berkait dengan Ketauhidan ditunjukkan dalam Surat Al An'am (6): 75: Allah memperlihatkan ciptaan-Nya sebagai pengenalan "Diri-Nya", Surat Al An'am 76: Melihat bintang kemudian dianggap tuhan, Surat Al An'am 77: Melihat bulan kemudian dianggap tuhan.Surat Al An'am 78: Melihat matahari kemudian dianggap tuhan. Surat Al An'am 79: Ketidak puasannya (melihat bintang, bulan, dan matahari), sehingga "ada sesuatu" yang menciptakan yaitu: Allah. Contoh lain pembelajaran Tauhid melalui dialog Ibrahim dengan orang tuanya dan Masyarakat: Al An'am (6): 74: Dialog Ibrahim dengan ayahnya atas sembahan berhala, Ashshaffat (37): 85 - 90: Dialog Ibrahim dengan ayah dan masyarakat atas sembahan berhala, Ashshaffat (37): 91 - 97 : Dialog Ibrahim dengan masyarakat atas sembahan berhala, Surat Al Anbiya (21) 52 - 71: Dialog Ibrahim dengan masyarakat atas sembahan berhala dan pembuktian kelemahan tuhan berhala, Surat Al An'am (6) 80 - 83: Dialog Ibrahim dengan masyarakat atas capaiannya "mencari" Tuhan.

Paparan di atas menunjukkan bahwa Al Qur'an lebih mementingkan dialog dalam proses pembelajaran, termasuk pembelajaran Tauhid dan menghindari model-model doktrin dan materinya dogmatis. Tawaran yang hampir mirip tetapi lebih mikro dan tepat digunakan di tingkat sekolah dinyatakan Suparno, dkk (2002: 76-89) bahwa pendidikan nilai dan pengajaran agama tidak harus disampaikan dengan pengetahuan saja, melainkan harus dengan hati, melalui pengalaman/ penghayatan nyata melalui program problem solving, reflective/critical thinking, group dynamic, community building, responsibility building, picnic, camping study, retreat/week-end moral, dan live-in dalam kegiatan ko kurikuler dan ekstra kurikuler. Pendidikan yang semacam ini bisa mengarahkan siswa pada pemahaman bahwa "sesuatu yang berbeda, tidak harus dibeda-bedakan", dengan melalui materi pelajaran budi pekerti yang harus berlangsung di dalam seluruh situasi kependidikan yang nyata di setiap program sekolah, melalui karya sastra ataupun materi yang lain. Sedangkan pembelajaran agama lebih menekankan model yang memiliki tujuh tahapan: doa pembukaan/penutup, narasi/kisah, refleksi, pengembangan religiusitas berdasar narasi/kisah, rangkuman danpeneguhan, aksi dan pra-aksi dalam masyarakat, dan terakhir evaluasi: atas materi, aksi, dan pra-aksi untuk tujuan penilaian dan evaluasi atas proses pembelajaran.

2. Pendidikan Fiqh

Pendidikan Fiqhpun bisa dikembangkan untuk tidak semata-mata fanatik pada aliran/mazhab tertentu. Langkah yang bisa dikembangkan melalui peningkatan wacana lintas mazhab/aliran pada bahan-bahan ajar Fiqh. Contoh: Bahan Ajar dengan topik Shalat, isi bahan ajar diantaranya meliputi: Niat. Bahasannya harus ada minimal 2 dalil tentang diperkenankannya Niat dengan lisan dan diperkenankannya Niat dalam hati (tidak diucapkan dengan lisan). Materi yang demikian harusnya ditindaklanjuti dengan metode pembelajaran yang mengakui lintas mazhab/aliran. Metode yagn bisa dipakai dengan metode mencari dan melacak Kitab-Kitab Fiqh, baik yang ditulis tokoh bermazhab Syafi'i, Hanafi, Maliki, Hambali, maupun Ja'fari secara kelompok. Setelah ditemukan dalil-dalil tersebut, masing-masing kelompok mempresentasikan hasil pelacakannya.

Fiqh perbandingan menjadi mutlak diajarkan, baik melalui bahan ajar maupun metode yang dipakai. Tingkat pengetahuan yang tinggi atas perbedaan bisa menjadikan siswa bisa memahami dan memaklumi perbedaan itu tanpa harus menyalahkan pihak lain atau tidak merasa benar sendiri apa yang dilakukan. Pendidikan Ekonomi bisa mengembangkan pendidikan Fiqh dan Tauhid, seperti ayat yang melarang perputaran kekayaan hanya terbatas pada orang-orang kaya, ditindaklanjuti dengan cara larangan Nabi kepada ummatnya agar tidak melakukan penimbunan barang dengan maksud meninggikan harga (ikhtikar). Sehingga akan terjadi solidaritas dan kesetiakawanan seperti yang diungkapkan oleh Allah dalam ayat berikut ini: "Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian lainnya dalam hal rizki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rizkinya itu) tidak mau memberikan rizki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rizki itu. Maka mengapa mereka mengingkari ni'mat Allah? (An Nahl:71)."

Ayat tersebut menunjukkan bahwa perintah untuk berderma baik wajib maupun sunat, bisa dilakukan dengan model refleksi. Disinilah sebenarnya cara yang bisa dikembangkan melalui metode observasi langsung, atau studi kasus melalui kegiatan out-door activity. Model pendidikan agama di atas tidak melulu mengarah pada semangat misionaris dan dakwah yang menegaskan truth claim, akan tetapi menumbuhkembangkan sikap batin siswa agar mampu melihat kebaikan Tuhan dalam diri sendiri, sesama, dan dalam lingkungan hidupnya. Terbentuknya model ini bisa membawa Pendidikan Agama sebagai tempat semaian awal dan utama dalam belajar berdemokrasi, karena sudah mulai sejak dari rumah dan masyarakat (pendidikan informal).

F. Penutup

Pendidikan di Indonesia yang berada pada masyarakat beragam suku, ras, agama dan antar golongan harus menjadi wahana dalam pembangunan dan pengembangan kesepahaman perbedaan tersebut. Awal dan utama penanaman kesepahamannya melalui Pendidikan Agama, karena agama mengajarkan bahwa setiap perbedaan yang diciptakan oleh Tuhan bermakna harus bisa saling menghormati. Langkah yang bisa dimulai melalui bahan ajar yang memberikan wacana kesepahaman lintas aliran/mazhab, dan ditindaklanjuti melalui metode yang bisa mengkristalisasi kesepahaman lintas aliran/mazhab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar