Senin, 18 Mei 2009

Mengurai simbol-simbol ajaran agama

Mengurai simbol-simbol ajaran agama

"Meskipun ada bermacam-macam, tujuannya adalah satu. Apakah anda tidak tahu bahwa banyak jalan menuju Ka'bah? ....oleh karena itu apabila yang anda pertimbangkan adalah jalannya maka sangat beranekaragaman dan sanagat tidak terbatas jumlahnya; namun apabila yang anda pertimbangkan adalah tujuannya maka semuanya terarah hanya pada satu tujuan".

Pengantar

Agama dalam perjalanan sejarah manusia selalu dijadikan tolak ukur bagi nilai-nilai hidup seseorang dalam masyarakatnya sehingga segala aspek yang dilakukan oleh mereka yang mengaku beragama baik dan buruk akan selalu disandarkan pada agama yang dianutnya.

Sementara itu setiap pemeluk agama sesungguhnya tidak ada yang instant, konstan menjadi manusia yang sepenuhnya taat menjalani agamanya baik dalam tataran teoritis maupun aplikatif, karena beragama sendiri adalah sebuah upaya untuk menjadi dalam arti berproses secara aktif untuk terus memahami ajaran agama yang diyakininya yang pada akhirnya akan memuarakan pemeluknya untuk menjadi orang yang beragama dengan A kapital dan bukan sekedar beragama.Hasil dari proses menjadi inilah kelak yang akan mengantar setiap pemeluk agama untuk dapat bersikap laku dalam kehidupannya. Demikian halnya dengan pengajaran agama yang juga merupakan sebuah proses, yaitu upaya untuk menjadikan siswa didik untuk terus menerus menerima ajaran agamanya yang pada muaranya diharapkan nilai-nilai ajaran agama tersebut dapat terinternalisasi dalam segala aspek laku kehidupannya.

Pengibaratan senada dapat pula diberikan kepada petani yang tidak dapat denagn instant memetik hasil panennya tapi dibutuhkan beragam upaya keteklunan; kesabaran dan ketelitian dalam merawat tanamannya. Dlam proses pendidikan pengibaratan di atas juga berlaku bagi pengajar agama yang tidak hanya cukup mentransfer dan menyuapi anak didik dengan seperangkat pengetahuan sesuai wawasan agama yang dimilikinya, tapi lebih dari itu bagaimana ia dapat memformulasikan wawasan keagamaannya dengan wawasan keagamaan siswa didiknya bersesuaian dengan tingkat usia mereka. Sehingga seorang pengajar diharapkan dapat memberikan sebuah pendekatan pengajaran yang lebih kreatif dan aktif bagi siswa didiknya. Dengan demikian pendekatan pengajaran agama tidak lagi bersifat eksklusif -doktrinal,dimana disajikan denagn kaku dan rigid tanpa membuka ruang nalar kritis bagi siswa sebagaiman praktek yang berlangsung di beberapa lembaga pendidikan selama ini.

Sebagai ilustrasi pendekatan pengajaran tersebut dapat dipaparkan di sini mengenap pengajaran dalam tema :thaharah; wudhu dan tayammum serta materi salat denagn sub-sub pengajarannya; syarat wajib, syarat sah, rukun dan sunnah-sunnahnya yang selalu diterima siswa didik di setiapa jenjang pendidikan dari SD hingga Perguruan Tinggi baik swasta maupun negri. Namun sebagaimana yang diungkapkan oleh Nurchalish majid memang terdapat beberapa ironi yang dialami bangsa kita yang sering mengklaim sebagai bangsa yang religius, toleran dan sopan.Tetapi jika memang betul kita adalah bangsa yang religius, pertanyaan yang zselalu terlintas ada;ah mengapa jkecurangan terus merajalela di negeri kita sehingga mendapatkan reputasi sebagai negara yang paling korup di muka bumi. Nampaknya memang terdapat anomali-anomali yang agak sulit diterangkan.

Terkait dalam kontek ini pula jika kita menggunakan analogi semakin sering sebuah pengajaran agama dibeerikan bahkan dipraktekkan maka akan semakin baik pula bagi siswa didik mengamalkan ajaran agamanya tersebut. Dan merupakan keniscayaan bagi negara ini memiliki tatanana prilaku hidup pribadi dan bernegara yang adail, damai dan sejahtera karena nilai-nilai agam sudah terinternalisasi, mendarah daging sejak usia dini yang dimiliki warga negaranya yang beragama.Namun mencermati ilustrasi yang kontradiktif di atas antara teori dan praktek tentunya kita tidak dapat menyalahkan kurikulum yang terus berulang tetapi tetap belum menghasilkan kesadaran beragama diantara penganutnya.

Sesungguhnya ketika kita mencermati ilustrasi dari permasalahan di atas, langkah utama yang perlu kita sikapi sekarang ini adalah bagaiman kita berupaya aktif mengevaluasi diri atas pengajaran mekanistik yang selam ini kita berikan.

Saatnya kita amulai mencoba menekankana pengajaran agama pada aspek nilai (values) nilai-nilai kehidupan itu sendiri dan buka pada sisi formalistik keagamaan saja.

Langkah evaluasi selanjutnya dalam proses belajar mengajar adalah bagaiman kita mencoba memberikan ruang lebih kepada siswa untuk berani mengkritisi ajaran agamnya dalam wilayah yang bersifat normatif maupun praksis.Dengan demikian diharapkan siswa terlatih untuk mensikapi perbedaan dalam kemajemukan, baik perbedaan ideologis, sosial budaya dan agama.Meski pada tataran ini memang dibutuhkan kebesaran jiwa dan keluwasan wawasan guru sehingga tidak dengan mudah memberikan pelabelan dosa dan anacaman neraka; nalar kritis yang mereka tawarkan.Dalam kondisi dan ruang kebebasan seperti inilah diharapkan siswa akan bertumbuh menjadi manusia yang terbuka, toleran dan humanis yang tanggap terhadap masalah kebenran dan kepalsuan yang ada di masyarakatnya, yang muranya akan mengantarnya pada pengalaman kebertuhanan dalam perjalanan panjang sekolah kehidupan.

Penutup

Sesungguhnya upaya merekonstruksi dan mereformasi pendidikan (agama) yang dapat membebaskan siswa dari belenggu doktrin agama yang eksklusif dan intoleran tidak akan terwujudkan selama pengajaran agama yang disajikan lebih menekankan sisi formalistik dan eksklusivistik. Kondisi ini semakin diperparah denagn tidak diikutsertakannya guru-guru agama atau tenaga praksis di lapanagn dalam mengkaji ulang pradigma dan konsep pemikiran agama yang ditawarkan kurikulum dan silabi oleh instansi dan lembaga pemerintah yang terkait.Sehingga dengan sendirinya pembenahan muatan materi agama yang lebih bersentuhan dengan fenomena sosial kemasyarakatan kurang terjamah karena selalu terkalahkan dengan permasalahan ritualisme

Tidak ada komentar:

Posting Komentar